Difinisi Kebudayaan

DIFINISI  KEBUDAYAAN

 

Menuerut Koentjaraningrat kebudayaan adalah seluruh sistem gagasan dan rasa, tindakan, serta karya yang dihasilkan manusia dalam kehidupan bermasyarakat, yang dijadikan miliknya dengan belajar.

Dengan demikian hampir semua tindakan manusia adalah “kebudayaan”, karena jumlah tindakan yang dilakukannya dalam kehidupan bermasyarakat yang tidak dibiasakannya dengan belajar (yaitu tindakan naluri, refleks, atau tindakan-tindakan yang dilakukan akibat suatu proses fisiologi, maupun berbagai tindakan memhabibuta), sangat terbatas. Bahkan berbagai tindakan yang dikarenakankan nalurinya (misalnya makan, minum, dan berjalan) juga banyak dirombak oleh manusia sendiri sehingga menjadi tindakan berkebudayaan. Manusia makan pada waktu-waktu yang dianggap wajar dan pantas; ia makan dan minum dengan menggunakan alat-alat, cara-cara, serta sopan-santun atau

protokol yang kadang-kadang sangat rumit, yang harus dipelajarinya dengan susah payah. Berjalan pun tidak dilakukannya lagi sesuai , dengan wujud organismenya yang telah ditentukan oleh alam, karena gaya berjalan itu telah disesuaikan dengan berbagai gaya berjalan yang harus dipelajarinya terlebih dahulu yaitu misalnya gaya berjalan seorang prajurit atau peragawati, atau gaya berjalan yang lemah-lembut.

Definisi yang menganggap bahwa kebudayaan dan tindakan kebudayaan merupakan segala tindakan yang harus dibiasakan dengan belajar diajukan oleh ahli-ahli antropologi C. Wissler,” C. Kluckhohn,53 A. Davis,54 dan A. Hoebel. Definisi-definisi yang mereka ajukan hanya beberapa saja di antara sejumlah definisi lain yang ada, baik definisi-definisi yang diajukan oleh para pakar antropologi, maupun para ahli ilmu-ilmu sosiologi, filsafat, sejarah, dan kesusasteraan. Sebanyak 176 definisi mengenai “kebudayaan” yang pernah muncul dalam berbagai tulisan telah berhasil dikumpulkan oleh A. L. Kroeber dan C. Kluckhohn, yang kemudian mereka analisa dan cari latar belakang, prinsip, serta intinya, lalu diklasifikasikan ke dalam sembilan tipe definisi. Hasil penelitian itu mereka terbitkan bersama dalam buku berjudul Culture: A Critical Review Of Concepts And Definitions (1952).

Istilah “Kebudayaan” Dan “Culture”. Kata “kebudayaan” berasal dari kata Sanskerta buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi yang berarti “budi” atau “kekal”.

Kata asing culture yang berasal dari kata Latin colere (yaitu “mengolah”, “mengerjakan”, dan terutama berhubungan dengan pengolahan tanah atau bertani), memiliki makna yang sama dengan “kebudayaan”, yang kemudian berkembang menjadi “segala daya upaya serta tindakan manusia untuk mengolah tanah dan mengubah alam”.

Perbedaan antara kebudayaan dan peradaban. Selain istilah “kebudayaan”, kita juga mengenal istilah “peradaban”, yang dalam bahasa Inggris disebut civilization, dan dipakai untuk menyebut bagian-bagian serta unsur-unsur dari kebudayaan yang sifatnya halus, maju, dan indah, seperti misalnya kesenian, ilmu pengetahuan adat sopan-santun serta pergaulan, kepandaian menulis, organisasi bernegara, dan lain-lain. Istilah “peradaban” sering juga dipakai untuk menyebut suatu kebudayaan yang memiliki sistem teknologi, ilmu pengetahuan, seni bangunan, seni rupa, sistem kenegaraan, serta masyarakat kota yang maju dan kompleks.

 

Berikut beberapa difinisi kebudayaan menurut para pakar:

a. Ki Hajar Dewantara

Kebudayaan menurut Ki Hajar Dewantara berarti buah budi manusia, adalah hasil perjuangan manusia terhadap dua pengaruh kuat, yakni alam dan zaman (kodrat dan masyarakat) yang merupakan bukti kejayaan hidup manusia untuk mengatasi berbagai rintangan dan kesukaran di dalam hidup dan penghidupannya guna mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang pada lahirnya bersifat tertib dan damai.

b. Sutan Takdir Alisyahbana

Sutan Takdir Alisyahbana mengatakan bahwa kebudayaan adalah manifestasi dari cara berpikir sehingga menurutnya pola kebudayaan itu sangat luas. Sebab, semua laku dan perbuatan tercakup di dalamnya dan dapat diungkapkan pada basis dan cara berpikir termasuk di dalamnya perasaan karena perasaan juga merupakan maksud dari pikiran.

 

c. Koentjaraningrat

Koentjaraningrat mengatakan, bahwa kebudayaan antara lain ber¬arti keseluruhan gagasan dan karya .manusia yang harus dibiasakan nya dengan belajar beserta keseluruhan dari hasil budi pekertinya.

d. A.L. Kroeber dan C. Kluckhohn

A.L. Kroeber dan C. Kluckhohn dalam bukunya “Culture, a critical review of concepts and definisitions” (1952) mengatakan, bahwa kebudayaan adalah manifestasi atau penjelmaan kerja jiwa manusia dalam arti seluas-luasnya.

e. Malinowski

Malinowski menyebutkan, bahwa kebudayaan pada prinsipnya berdasarkan atas berbagai sistem kebutuhan manusia. Tiap tingkat kebutuhan itu menghadirkan corak budaya yang khas. Misalnya, guna memenuhi kebutuhan manusia akan keselamatannya, maka timbul kebudayaan yang berupa perlindungan, yakni seperangkat budaya dalam bentuk tertentu, seperti lembaga kemasyarakatan.

C.A. van Peursen

C.A. van Peursen mengatakan bahwa dewasa ini kebudayaan diartikan sebagai manifestasi kehidupan setiap orang dan kehidupan setiap kelompok orang dapat berlainan dengan hewan. Maka, manusia tidak dapat hidup begitu saja di tengah alam. Oleh karena itu, untuk dapat hidup, manusia harus mengubah segala sesuatu yang telah disediakan oleh alam. Misalnya, beras agar dapat dimakan harus diubah dulu menjadi nasi.

Terwujudnya suatu kebudayaan dipengaruhi oleh sejumlah faktor, yaitu hal-hal yang menggerakkan manusia untuk menghasilkan kebudayaan sehingga dalam hal ini kebudayaan merupakan produk kekuatan jiwa manusia sebagai makhluk Tuhan yang tertinggi. Oleh karena itu, walaupun manusia memiliki tubuh yang lemah bila dibandingkan dengan binatang seperti gajah, harimau, dan kerbau, tetapi dengan akalnya manusia mampu untuk menciptakan alat (sebagai homofaber) sehingga akhirnya dapat menjadi penguasa dunia. Dengan kualitas badannya, manusia mampu menempatkan dirinya di seluruh dunia. Tidak seperti binatang, yang hanya dapat menempatkan diri di dalam lingkungannya. Oleh karena itu, manusia dikatakan sebagai insan budaya.

Menurut Dr. H. Th. Fischer dalam bukunya Pengantar Antropologi ada sejumlah faktor yang mempengaruhi kebudayaan, dan secara garis besar disebutkan berikut ini.

a. Faktor Kitaran Geografis (lingkungan hidup, geografisch milieu).

Faktor lingkungan fisik lokasi geografis merupakan sesuatu corak budaya sekelompok masyarakat. Dengan kata lain, faktor kitaran geografis merupakan determinisme yang berperan besar dalam pem-bentukan suatu kebudayaan.

b. Faktor Induk Bangsa.

Ada dua pandangan yang berbeda mengenai faktor induk bangsa ini, yaitu pandangan Barat dan pandangan Timur. Pandangan barat ber-pendapat bahwa perbedaan induk bangsa dari beberapa kelompok masyarakat mempunyai pengaruh terhadap suatu corak kebudayaan. Berdasarkan pandangan Barat, umumnya tingkat peradaban didasar-kan atas ras. Oleh karena itu, bangsa-bangsa yang berasal dari ras Caucasoid dianggap lebih tinggi daripada ras lain, yaitu Mongoloid dan Negroid yang lebih rendah dari ras Mongoloid yang memiliki ras khusus seperti Bushman (Afrika Selatan), Vedoid (Sri Langka), dan Australoid (Australia). Tetapi, pandangan Timur berpendapat, bahwa peranan induk bangsa bukanlah sebagai faktor yang mem-pengaruhi kebudayaan. Karena, kenyataannya dalam sejarah budaya Timur sudah lebih dulu lahir dan cukup tinggi justru pada saat bangsa Barat masih “tidur dalam kegelapan”. Hal tersebut semakin jelas ketika dalam abad XX, bangsa Jepang yang termasuk ras Mongoloid mampu membuktikan bahwa mereka bangsa-bangsa timur tidak J dapat dikatakan lebih rendah daripada bangsa barat.

c. Faktor Saling Kontak antarbangsa.

Hubungan yang makin mudah antarbangsa akibat sarana perhubungan yang makin sempurna menyebabkan satu bangsa mudah berhubungan dengan bangsa lain. Akibat adanya hubungan antarbangsa ini, dapat atau tidaknya suatu bangsa mempertahankan kebudayaannya tergantung dari pengaruh kebudayaan mana yang lebih kuat. Apabila kebudayaan asli lebih kuat daripada kebudayaan asing maka kebudayaan asli dapat bertahan. Tetapi, apabila kebudayaan asli lebih lemah daripada kebudayaan asing maka lenyaplah kebudayaan asing dan terjadilah budaya jajahan yang sifatnya tiruan (colonial and imitative culture). Tetapi, dalam kontak antarbangsa ini, yang banyak terjadi adalah adanya keseimbangan yang melahirkan budaya campuran (acculturation).                                             

Indonesia yang terletak dalam posisi silang (cross position) dunia, . kebudayaannya memiliki konsekuensi yang besar dari pengaruh luar. Dalam hal ini, sejarah telah menggambarkannya dengan nyata. Selain pengaruh luar, masalah waktu sebenarnya juga ikut berperan dalam pembentukan suatu kebudayaan. Misalnya, dalam fase pertama, Indonenia mendapat pengaruh Hindu-Budha (abad V – X), dalam fase ke dua, Indonesia mendapat pengaruh Islam (abad XI – XVI), dan dalam fase ke tiga mendapat pengaruh dari kebudayaan barat (abad XVI – XX).

 

Sumber pustaka

  1. Pengantar Antropologi  I , Cetakan ke 3 2005 . penerbit Reinika Cipta
  2. Ilmu Budaya Dasar Drs. Supartono Winyosiswoyo Balai Aksara 1993

 

About Ken dan Bening

keluarga pembelajar

Posted on September 17, 2008, in Berita. Bookmark the permalink. 2 Komentar.

Tinggalkan Balasan ke aldo Batalkan balasan