BERCINTA DENGAN 16 JANDA

Muhajir Arrosyid

Akhirnya saya menyelesaikan tesis itu. Huft… di antara mata kuliah di Program Pascasarjana Magister Ilmu Susastra UNDIP  yang saya tempuh terbukti mata kuliah ini yang paling melelahkan, menghabiskan waktu, tenaga, dan pikiran. Saya sampai ganti judul tiga kali. Mula-mula saya ingin menganalisis cerpen-cerpen Agus Vrisaba yang terkumpul dalam buku kumpulan cerita pendek Dari Bui Sampai Nun dengan menggunakan teori ekokritik. Saya terpesona dengan teori ini, Siswo Harsono, teman sekelas memperkenalkan saya pada teori ini. Saya tertarik karena teori ini mengukur keindahan sastra dari sumbangsihnya terhadap perlindungan lingkungan. Tesis itu mentah di tengah jalan karena saya susah mendapati buku referensinya. Buku-buku tentang ekokritik belum ada di Indonesia. Referensi tentang ekokritik jikapun ada hanya di internet yang di-makruh-kan menjadi referensi pokok.
Saya mengikhlaskan untuk melepas ekokritik., Kemudian cerpen-cerpen Agus Vrisaba ingin saya analisis menggunakan teori hegemoni. Sekitar tujuh buku tentang hegemoni, maksis dan teman-temannya saja baca. Belum juga paham saya baca lagi. Saya teliti satu persatu cerpen itu dengan pendekatan hegemoni itu. Saya buat tabel-tabel. Wah dengan penuh keyakinan saya datang ke pembimbing, Prof Jarwo. Dan muka saya merah ketika beliau berkata “Kok terlalu sederhana ya?” Beliau mengusulkan untuk ganti judul. Siang itu terik, kendaraan lalu-lalang di depan rumah Prof Jarwo, para orang tua menunggu anaknya belajar di Taman Kanak-kanak. Kebetulan di samping rumah Prof Jarwo adalahh Taman Kanak-kanak. Di sebrang jalan orang sibuk mencuci mobil.
“Enggak papa Prof-engak papa” Saya menakinkan kepada Prof Jarwo bahwa perubahan judul itu benar-benar tidak apa-apa bagiku. Meskipun sebenarnya aku juga kaget dan tampak layu. Apa yang telah kukerjakan berminggu-minggu kemarin sia-sia belaka, tapi aku memang harus segera bangkit dan melakukan sesuatu jika tidak ingin pekerjaan bertambah lama. Berbagai kemungkinan kami diskusikan, mulai dari novel Perempuan Berkalung Sorban karya Abidah, Gadis Pantai Karya Pramoedya Ananta Toer, hingga akhirnya saya membicarakan tentang janda. Sebenarnya tak sengaja. “Prof, saya perhatikan lagu tentang janda kok banyak sekali, sedangkan lagu tentang duda sedikit.” Kata saya kepada Prof Jarwo.
“Lha itu saja di buat tesis. Sudah kamu kumpulkan lagu-lagu tentang janda.” Pamitlah saya dari rumah beliau dengan banyak tugas. Saya harus segera menentukan judul tesis lagi. Ada tiga kemungkinan; Gadis Pantai, Perempuan Berkalung Sorban, dan lagu tentang Janda. Sebenarnya saya agak ragu menganalisis  lagu tentang janda. Kenapa saya ragu? Sebelumnya saya belum pernah menganalisis lagu. Segera saya mampir ke ruang dosen sastra, waktu itu masih di Jalan Hayawuruk menemui Pak Muzaka, pembimbing saya yang kedua. Saya ceritakan segala pembicaraan saya dengan Prof Jarwo termasuk kelemahan saya menganalisis lagu. Percakapan dengan beliau, saya sepakat untuk menganalisis Perempuan Berkalung Sorban. Motor saya lajukan ke Gramedia Pandanaran. Saya cari novel karya Abidah itu, ketemu. Saya targetkan sehari saya baca selesai.
Pagi hari saat saya hendak bimbingan, saya mendapat kabar bahwa Prof Jarwo di rumah sakit. Beliau jatuh ketika hendak naik ke kantor Tembalang. Siang hari saya niatkan menjenguk beliau di rumah sakit Romani Semarang. Saat melewati pintu saya menyaksikan beliau terbaring dengan infus menggantung, tangan beliau terbungkus perban putih. Senyumnya lebar menyambutku sambil berkata “Bagaimana sudah dapat berapa janda?” yang beliau maksud adalah lagu tentang Janda. “Baru lima Prof” jawab saya. Apa yang ingin saya sampaikan dari rumah tentang novel Perempuan Berkalung Surban patah sudah. Di ruangan itu kami tertawa-tawa ngobrol tentang janda.
Akhirnya saya tetapkan mengangkat lagu janda sebagai tesis saya, judulnya Janda dalam Lagu-lagu berbahasa Indonesia dan Jawa Analisis Struktural dan Feminisme. Saya menetapkan 16 lagu bertema janda sebagai bahan analisis saya, dari berbagai aliran musik dari dangdut, pop, rock, dan campursari. Lagu-lagu yang saya analisis adalah ‘Gara-gara Janda’, ‘Janda Baru’, ‘Janda Satu Anak’, ‘Janda Kembang’, ‘Mabuk Janda’, ‘Gadis atau Janda’, ‘Jandaku’, ‘Janda Beranak Dua’, ‘Pilih Randhane’, ‘Randha Kempling’, ‘Nasib Janda’, ‘Ange-angge Orong-orong’, ‘Janda Ketemu Duda’, ‘Randha Gunung’, ‘Randha Ngarep Omah’, dan ‘Sido Randha’Setiap malam saya bergumul dengan 16 janda dalam lagu-lagu itu.
Saya sering senyum-senyum sendiri membuat tesis ini. Misalnya saja ketika saya iseng mencoba membuka kata janda dalam mesin pencari google dengan petunjuk gambar, yang muncul adalah gambar-gambar perempuan dengan setengah telanjang bahkan ada yang telanjang bulat. Ketika saya membuka kata janda dalam mesin pencari google dengan dengan petunjuk berita maka yang muncul adalah berita-berita negatif tentang janda misalnya janda tertangkap mencuri, janda menggoda pejabat dan yang lain. Hal ini tidak terjadi saat saya mengetik kata duda. Gambar janda dalam google itu juga saya sertakan dalam tesis, saat presentasi ujian, gambar-gambar perempuan serengah telanjang itu juga saya tampilkan di layar.
Bisa di wolak-walik
Dalam lagu-lagu bertema janda kadang muncul kata yang aneh-aneh dan mengundang tawa, seperti kempling, enak rasane, bisa diwolak-walik. Kata-kata itu adalah semacam nilai jual bagi janda. Ibarat warna cerah pada kupu-kupu digunakan untuk menarik perhatian lawan jenis. Masyarakat kita masih dalam cengkraman budaya patriarki. Segala hal, termasuk seksualitas, dipandang dari sudut pandang laki-laki. Perempuan adalah objek seksualitas laki-laki. Yang sempit, kempling dan enak rasane tadi adalah sesuatu yang disajikan untuk laki-laki. Janda harus bersaing dengan gadis dan istri untuk merebut perhatian laki-laki.  Dari sudut pandang janda kata-kata tersebut adalah ungkapan untuk menciptakan imajinasi kenikmatan bagi lawan jenis, namun dari sudut pandang para istri kata-kata tersebut dianggap godaan kepada suami-suami mereka.
Akhirnya tesis selesai saya tulis. Para pembimbing saya yang baik hati, Prof Jarwo dan Pak Muzaka telah bersedia bertanda tangan maka saya siap di uji. Tanggal 23 Desember 2011 adalah hari baik itu. Mas Dwi dan Mbak Ari memberi tahu. “Mas ujian mengenakan pakean bawah gelap, atas cerah, dan mengenakan dasi. Kebetulan seragam kerja saya hari Senin cocok untuk ujian, maka saya kenakan saja. Hanya kurang dasi yang saya belum punya. Saya beli dasi di Kaligawe. Mulanya ditawarkan dua puluh ribu, tidak saya tawar, ternyata si Mbak penjual dasi malah menyuruh saya membeli dengan harga hanya lima belas ribu rupiah.
Pagi tanggal 23 Desember 2011 telah tiba. Di antar istriku, saya akan menunaikan tugas terakhir sebagai mahasiswa. Saya duduk di depan ruangan dengan pakaian lengkap, kemeja beserta dasi, sepatu bersemir licin, rambut berminyak klimis. Ini adalah tampilan saya paling serius setelah menikah. Saya sengaja presentasi menggunakan laptopku yang telah renta sebagai penghormatan karena telah lama menemaniku mengerjakan tugas-tugas, termasuk mengerjakan tesis ini.
Di hadapan saya telah duduk dosen-dosen yang saya hormati yang akan menguji saya, Pak Nurdin, Pak Redi, Pak Yudi yang sering memanggil saya Prof Muhajir, Pak Jarwo, dan Pak Muzaka. Di belakang beliau-beliau selain istrinya hadir Mas Teguh dan Bu Indri, kepada mereka berdua saya uncapkan terimakasih yang berlebih.
Presentasi saya awali dengan alunan lagu ‘Mabuk Janda’ dendangan Uut Permatasari, meskipun menegangkan ujian itu juga diselingi dengan canda tawa. Prof Nurdin bertanya, “Anda wawancara tidak dengan janda?” saya jawab tidak, kemudian beliau menimpali “Jika Anda melakukan wawancara akan lebih menarik.” Kata Pak Yudi judul tesis saya menjual, jika dijadikan buku mungkin laku. Beliau menyarankan untuk diterbitkan kelak setelah dikoreksi sana-sini. Akhirnya saya dinyatakan lulus dengan koreksi sana-sini.
Matur Nuwun
Biarlah ruang ini saya gunakan untuk mengucapkan terimakasih. Biarpula sekali-kali saya beromantis. Kepada istriku tercinta Tri Umi Sumartyarini, dia yang selalu menyemangati, anakku Ken Nuruto Robbi, yang sering saya cueki meskipun sudah merengek minta gendong, mas Teguh Hadi Prayetno dan Bu Indri Kustantinah yang hadir pada saat saya ujian, juga teman-teman saya semua satu kelas. Oh ya, terimakasih Lelu atas pinjaman buku-bukunya. Saat saya wisuda saya kirim SMS kepada mas Teguh, “Mas terimakasih ya atas bantuannya?” dia menjawab, “Bantuan opo?” Saya bilang padanya bahwa ejekan-ejekannya yang ia lontarkan kepada saya merupakan penyemangat yang cukup manjur. Kepada dosen pembimbing, penguji dan semua dosen yang telah memberikan ilmunya kepada saya, saya ucapkan terimakasih, semoga ilmumu terus bertambah. Gen aku kecipratan.
Permintaan maaf dan terimakasih saya ucapkan kepada Bapak Muhdi, rektor IKIP PGRI Semarang yang telah memberikan kesempatan kepada saya kuliah, Mohon maaf saya kadang saya meninggalkan  pekerjaan karena bimbingan tesis. Kepada guru saya, Pak Harjito, saya ucapkan terimakasih. Tidak tahu saya punjungan yang harus saya haturkan kepadamu. Saya hanya teraliri gairah belajarmu itu (20 Februari 2011).

About Ken dan Bening

keluarga pembelajar

Posted on Februari 21, 2012, in buku harian and tagged , , . Bookmark the permalink. 7 Komentar.

  1. tak baca dulu ya…

  2. ikut senang tentunya. meskipun lama tidak saling menyapa. tapi yang jelas kabar wisuda mengambil kata syahrini “alhamdulillah dan sesuatu”

  3. Tulisan yang sangat menggelitik dan menggoda. Kehormatan bagi saya karena telah disebut dalam karya apik ini

Tinggalkan Balasan ke Karya Anak Kampung Batalkan balasan