Arsip Blog

CERMIN KAMI BERNAMA KEN

Setelah subuhan, biasanya saya duduk di tepi ranjang sambil membaca buku. Mataku melirik Ken kalau-kalau dia sudah bangun. Ya, setiap pagi saya menunggu Ken bangun. Saya menikmati saat dia bangun sambil tersenyum merangkak ke arahku minta gendong. Kadang dia bangun masih gelap, saya senang sekali karena berkesempatan menggendongnya ke timur menuju sawah menyongsong matahari. Mudeng atau tidak aku cerita kepadanya banyak hal. Saat melihat padi, saya ceritakan kepadanya tentang padi, saat melihat tumpukan sampah di tepi sungai, saya beri tahu dia bahwa tak selayaknya membuang sampah di tepi sungai. “Ken, pakailah logika. Jika kita berharap ikan dari sungai, kenapa kita menabur racun sampah ke sungai?” Kadang saya nyanyi-nyanyi,”Kupandang langit penuh bintang bertaburan, berkelap-kelip seumpama intan mulya.” Mulai beberapa hari terakhir Ken bisa menyahut meski belum jelas nada dan ucapannya.

Namun seringkali Ken bangun sudah siang, pukul enam, saat di mana saya harus berangkat kerja. Kalau sudah begitu saya hanya menggendongnya sebentar di sekeliling rumah sebelum memberikan kepada ibunya untuk dimandikan. Beberapa kali Ken bangun telat dan terpaksa saya meninggalkannya saat masih terlelap. Tambah kangen kalau ada tugas kantor sampai malam, sampai rumah Ken sudah terlelap. Saya hanya memandanginya, mencium pipinya sambil menunggu pagi cepat sampai.

Pagi itu 26 April 2012. Di tepi ranjang membaca buku Stave Jobs by Walter Isaacson, saya menunggu Ken bangun. Sudah pukul 06.00 WIB Ken belum bangun juga, tapi hari ini saya berniat menunggunya. Saya kabarkan kepada teman kantor, saya telat berangkat kerja. Sekitar pukul 06.45 WIB Ken baru bangun. Seperti biasanya dia merangkak kearahku dan saya menggendongnya. Tidak seperti biasanya yang selalu tersenyum, kali ini Ken merangkak sambil menangis. Setelah tubuhnya menempel dengan tubuhku, saya merasakan tubuhnya hangat.

Saya gendong keluar rumah, tenang dia dipelukan saya. Seperti hari-hari biasanya, ibunya di dapur memasak, mencuci piring, bersih-bersih, dan mempersiapkan air hangat untuk mandi si Ken. Saya ajak Ken menuju bangunan rumah kami yang belum jadi. Saya tunjukkan kepadanya: “Ken ini besok rumahmu, itu besok kamarmu. Ia diam saja tidak menyahut.”

Saya mengajaknya berdo”a diawali membaca Al-Fatihah tiga kali. “Ya Allah pemilik dan pembuat alam seisinya dan pemikik segala kekuatan, Ken dan saya memohon kepadaMu berilah kesehatan bagi Si Ken dan kembalikan senyum Si Ken.” Do’a yang sederhana tetapi sangat khusuk. Memohon untuk anak memang selalu khusuk mengalahkan memohon untuk diri sendiri, tidak tahu kenapa.

Jadi ingat beberapa hari kelahiran Ken dulu, setiap orang memberi do’a kepada Ken, saya juga mengamininya dengan serius, dan benar-benar berucap terimakasih kepada yang memberi do’a. Saat ada kado titipan untuk Ken, saya juga sangat berterimakasih dan ingin segera pulang menyampaikan kepadanya.

Kehadirian Ken di tengah-tengah kami mengingatkan kami untuk lebih perhatian kepada sesama. Saya terharu dengan orang-orang yang mendo’akan, memberi kado padahal sebelumnya kami adalah orang yang cuek bebek. Ken adalah cermin, setiap menatap wajahnya saya selalu teringat budi orang tua. Setiap kali melihat kilatan tajam matanya saya selalu ingin mengucap terimakasih kepada orang tua, ternyata banyak sekali hal-hal bodoh yang saya lakukan terhadap orang tua dimasa lalu. Tetaplah menjadi cermin kebaikan bagi kami anakku.