PENGIMPOR PAHLAWAN

Mengimpor PahlawanJika kita menonton televisi, maka kita akan saksikan Ashoka, Balveer, Jalal dalam Joda Akbar, Krisna, pahlawan-pahlawan yang dihadirkan dari peradaban luar mememenuhi layar kaca kita tanpa jeda. Hal tersebut seperti menarasikan bahwa perjuangan pahlawan-pahlawan kita, pengorbanannya kurang mengharukan, kurang mampu membuat kita sebagai bangsa bangga sehingga mendesak menghadirkan tokoh-tokoh dari luar dengan durasi waktu yang luar biasa panjang tersebut.

Melihat keadaan seperti sekarang ini saya jadi ingat apa yang dikatakan oleh Peter Carey (2014) yang berpendapat bahwa sebagian besar orang Indonesia kini hidup dalam kekosongan historiografi dan lebih akrab dengan budaya populer dari Barat dibanding warisan budaya mereka sendiri yang unik. Hal tersebut disampaikan dalam pengantar bukunya berjudul Takdir, Riwayat Pangeran Diponegoro (1785-1855). Terkait dengan Diponegoro ia menunjukkan kepada kita bahwa pahlawan yang telah menjadi nama jalan, universitas, dan stadiun ini telah menulis otoiografi berjudul Babat Diponegoro setebal 1.151 halaman dan pada pada Juni 2013 diterima oleh Komite Penasihat Internasional UNESCO sebagai salah satu dari 299 naskah dari semua negara di dunia yang masuk daftar ingatan kolektif dunia. Berapa orang Indonesia yang sudah membacanya?

Banyak penelitian menunjukkan bahwa tontonan atau menggunakan istilah Ariel Haryanto (2015) ‘budaya layar’ mementuk identitas masyarakat. Ariel mencontohkan tentang islamisasi dalam budaya layar mampu mempengaruhi kebijakan politik, bahkan undang-undang pada saatnya. Ariel mencontohkan penggunaan jilbab bagi perempuan yang pada suatu masa tahun 1980-an sempat dilarang penggunaanya di muka umum, di masa yang lain jilbab dibolehkan, sekarang ini bahkan pasukan pengibar bendera di istana negara ada yang mengenakan jilbab, bahkan di Provinsi Aceh, Jilbab diwajibkan dikenakan bagi perempuan. Perubahan-perubahan tersebut juga ditunjang oleh budaya layar dengan banyaknya film-film bertema Islam seperti karya-karya Deddy Mizwar, Hanung Bramantyo, dll.

Contoh lain ditunjukkan oleh Aimee Dawis (2010) dalam penelitiannya yang kemudian dibukukan berjudul Orang Indonesia Tionghoa Mencari Identitas menceritakan peran tontonan dalam pembentukan identitas. Program asimilasi pemerintahan Soeharto menekan sedemikian rupa orang Indonesia Tionghoa untuk berkembang secara kebudayaan. Segala hal yang berkaitan dengan budaya dibatasi dan diawasi. Sekolah-sekolah berbahasa Mandarin dibubarkan, perasaan hari besar Imlek dilarang diselenggarakan secara umum, bahkan nama pun perlu diubah menjadi nama Indonesia. Kebijakan tersebut membuat orang Indonesia Tionghoa berjarak dengan negeri leluhurnya yaitu Tiongkok. Rupanya film-film seri semacam The Retures of the Condor Heroes yang sempat populer di Indonesia mampu mengingatkan dan merumuskan identitas mereka kembali. Para pemuda Indonesia Tionghoa yang perempuan pada waktu itu menjadikan Xiao Lung Nu atau Bibi Lung yang diperankan oleh Chen le Lian sebagai panutan berdandan dan bertingkah laku.

Peringatan tanpa pemahaman

Imajinasi dan ingatan tentang perjuangan pahlawan, pengoranannya mampu mengikat kita sebagai bangsa. Ia memiliki fungsi untuk mempersatukan kita. Kita adalah sama-sama anak cucu Dionegoro, Ki Hajar Dewantoto, Hos Tjokroaminoto dll. Sebuah tontonan mengisi ruang-ruang imajinasi genarasi muda Indonesia. Jika yang menjadi tontonan didominasi pahlawan-pahlawan impor maka imajinasi mereka hanya dipenuhi oleh pahlawan impor tersebut. Dengan demikian daya ikat nasionalisme yang ditimbulkan oleh ingatan pahlawan kita sendiri akan kikis.

Kita teramat biasa menjadi masyarakat yang menyelenggarakan peringatan tanpa pemahaman. Memperingati kemerdekaan tanpa imajinasi perjuangan pahlawan maka tak mampu menjadi obor perjuangan di masa depan. Misalnya saja mengadakan peringatan hari Kartini hanya dengan acara masak-msak dan mengenakan busana adat tanpa berusaha tahu dan membaca Kartini itu siapa, peringatan Hari Kemerdekaan 17 Agustus tanpa membaca kisah hidup dan para pahlawannya. Akibatnya penghayatan kita sebagai bangsa menjadi lemah.

Untuk menutup tulisan ini saya ingin menunjukkan persitiwa yang direkam oleh Suara Merdeka pada Oktober 2012 saat pertunjukan tentang Diponegoro di sebuah perguruan tinggi di Semarang. Ternyata hanya sembilan persen mahasiswa yang tahu Diponegoro. Menyedihkan. Kemudian apa yang perlu dilakukan? Pemerintah perlu mendorong dihadirkannya tontonan yang mengangkat tokoh-tokoh bangsa. Selama ini memang sudah ada film kepahlawanan seperti yang terakhir berjudul Guru Bangsa, HOS Tjokroaminoto garapan Garin Nugroho, namun menim penonton. Film-film ini harusnya dibantu promosinya oleh pemerintah, kalau perlu para siswa disubsidi agar mampu menonton, atau dikelilingkan di sekolah. Sayangnya pemerintah seperti tidak tahu masalah. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan menghimbau kepada para guru untuk membaca buku-buku karangan Ki Hajar Dewantoro. Anies Baswedan tidak tahu kalau buku-buku karangan Ki Hajar Dewanoro langka di pasaran tanpa usaha untuk mengadakannya. Ketika hukum pasar tidak berpihak pada nilai-nilai nasionalisme maka negara harus hadir karena lunturnya nasionalisme adalah ancapan bagi negara juga. Demikian.

 

Muhajir Arrosyid, dosen Universitas PGRI Semarang

About Ken dan Bening

keluarga pembelajar

Posted on November 10, 2015, in Opini. Bookmark the permalink. Tinggalkan komentar.

Tinggalkan komentar